Selasa, 17 Juni 2008

Ingat Wiji Tukul

Wiji Tukul. Sebuah sosok yang tiba-tiba menjadi populer karena menjadi target operasi pencarian orang berbahaya orde baru setelah Budiman Sudjatmiko dan Pius Lustrilanang. Puisi Tukul yang berbunyi “Hanya Ada Satu Kata: Lawan!” adalah petikan yang menjadi inspirasi teman-teman mahasiswa untuk meninggalkan bangku kuliah dan menghabiskan waktunya di jalanan (baca: demonstrasi). Puisinya lugas dan bebas dari ‘kungkungan’ teori berpuisi. Selugas bahasanya, puisi tukul berisi protes terhadap ketidak adilan kekuasaan. Namun kini kita tidak akan menemui karya-karya seunik itu lagi, karena penyairnya telah hilang dan tak kembali lagi

Tiba-tiba ‘kerinduan’ pada si Tukul ini muncul. Aku tidak tahu banyak tentang dia. Yang aku tahu, Tukul telah hilang ditelan oleh sebuah kekuasaan yang arogan dan yang paling aku tahu hanyalah petikan puisinya yang berbunyi “Lawan!”. Hasil pencarian melalui google, ada beberapa puisi Wiji Tukul yang bisa dipost di sini.

_________________________________

Peringatan

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

______________________________________________

Sampai di Luar Batas

Kau lempar aku dalam gelap
Hingga hidupku menjadi gelap
Kau siksa aku sangat keras
Hingga aku makin mengeras
Kau paksa aku terus menunduk
Tapi keputusan tambah tegak
Darah sudah kau teteskan
Dari bibirku
Luka sudah kau bilurkan
Ke sekujur tubuhku
Cahaya sudah kau rampas
Dari biji mataku
Derita sudah naik seleher
Kau menindas
Sampai
Di luar batas

Wiji Thukul,17 November 1996

_____________________________________________

Bunga dan Tembok

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

_____________________________________________

Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa

aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup

aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Wiji Thukul.18 juni 1997)

Jadi…
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Tidak ada komentar: