Judul: Soe Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Penulis: John Maxwell, Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, 2001, Tebal: (xiii + 443) halaman.
DALAM perjalanan panjang sejarah Indonesia pascakemerdekaan, dekade tahun 1960-an mempunyai arti yang sangat penting karena ditandai dengan transisi jabatan kepresidenan secara "paksa" dari Soekarno ke Soeharto. Peristiwa itu didahului adanya kup yang disebut-sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Di era itu juga dilaksanakan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian berakhir setelah Soekarno jatuh.
Soe Hok-gie, sebagai anak zaman yang "kebetulan" besar dan tumbuh saat bangsa Indonesia sedang bergejolak tahun 1960-an tersebut. Ia dan kawan-kawan ikut menyuarakan perjuangan menentang pemerintah (Soekarno) yang dinilai mulai mengarah ke tirani.
John Maxwell dalam Soe Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani ini mengungkapkan bahwa Soe Hok-gie adalah sosok minor dalam dunia politik Indonesia. Minor karena nama Soe Hok-gie tak dikenal luas di Indonesia, kendati tulisannya begitu mencengangkan di kalangan tertentu, terutama di antara orang-orang Indonesia yang menjadi pembaca media cetak bermutu di Jakarta.
Dalam buku yang semula adalah desertasinya di Australia National University, Department of Political and Social Change Canberra, Maxwell juga menjelaskan bahwa sisi minor tadi masih ditambah bahwa secara etnis dan kultural, sebagai orang Cina-Indonesia, Soe Hok-gie ia harus memulai kehidupan sebagai orang "asing".
Secara politik, ia bukanlah anggota atau pemimpin suatu partai politik tertentu. Ini menyebabkan nama Soe Hol-gie sulit ditemukan dalam catatan kaki dan publikasi literatur politik dasawarsa tahun 1960-an (hlm 4).
Namun, Maxwell menegaskan bahwa Soe Hok-gie adalah sebuah sejarah; sejarah munculnya kesadaran politik seorang anak muda ketika ia tengah berusaha merespon apa yang terjadi dalam masyarakat di sekelilingnya dan ketika ia berusaha menjawab persoalan politik bangsanya.
***
BUKU ini dibagi menjadi enam bab yakni: Asal-usul, Konteks, Tahun-tahun Awal di Universitas: Kemunculan Seorang Aktivis Politik, Terjun ke Kancah Aktivisme Politik: Demonstrasi Mahasiswa 1966, Membersihkan Orde Lama; Bergulat dengan Kemunculan Orde Baru. Dalam tiap bab yang terdiri dari bagian-bagian tertentu, diuraikan urutan fase kehidupan Hok-gie lebih berfokus pada kejadian-kejadian sosial politik bangsa tahun 1950-1970.
Bagian pertama menceritakan asal usul Soe Hok-gie sebagai keturunan peranakan yang istimewa. Maxwell begitu jernih mengulas tentang latar belakang Soe Hok-gie kecil dan remaja yang begitu terpikat pada dunia buku dan ide-ide yang kreatif penuh imajinasi. Orang-orang terdekat Soe Hok-gie, juga menjadi ulasan Maxwell dalam usaha lebih dalam mengenal pribadinya.
Seperti lazimnya anak manusia, identitas adalah sesuatu yang menjadi pemikiran Soe Hok-gie dalam perkembangan pribadinya. Ia tumbuh dan terpengaruh gejolak pada awal masa kemerdekaan, saat pencarian identitas bangsa Indonesia juga berpengaruh pada pencarian keyakinan, jati diri, keadilan dan kemanusiaannya (Bab 1).
Maxwell berusaha secara gamblang menguraikan sosok paradoksal ini dengan seringnya mengemukakan persaingan Soe Hok-gie dengan kakaknya Arief Budiman, kebimbangannya akan cinta dan seks, juga keraguannya akan agama, sampai pada kebenciannya pada dunia borjuis dan ketertarikannya pada demokrasi, hak-hak individu, dan kebebasan.
Bab-bab selanjutnya (dua sampai enam), penuh diisi dengan kiprah Soe Hok-gie di dunia kampus dan politik Indonesia. Sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah, nuraninya tergugah ketika melihat betapa kacaunya situasi bangsa dan negara Indonesia waktu itu karena pemerintahan yang tidak stabil dan bobroknya moral para pejabat. Tulisan-tulisannya (yang banyak dikutip oleh Maxwell) begitu tajam, menggigit dan seringkali sinis ketika ia menyerang seorang tokoh, keadaan ataupun kebijakan pemerintah yang dirasanya tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, kebebasan, dan kejujuran.
Maxwell yang mencoba menganalisis Soe Hok-gie dari tulisan-tulisannya di surat-surat kabar, catatan harian, dan sumber-sumber lain selama periode tahun 1950-1970, dalam lima bab berikutnya, ternyata memang mau tidak mau harus banyak mengungkapkan fakta-fakta politik dan situasi bangsa Indonesia guna menemukan relevansinya dengan entri-entri yang ditulis Soe Hok-gie.
Terlihat bahwa kesadaran subyektif Soe Hok-gie sangatlah menentukan langkah dan pandangannya tentang sebuah perjuangan moral. Maxwell menangkap hal ini, ketika ia menuliskan kekecewaan Soe Hok-gie akan teman-teman seperjuangannya yang larut pada struktur kekuasaan dan meninggalkannya dalam kesepian dan keterasingan (Bab 6).
Akan halnya tentang sisi kehidupan lain seorang Soe Hok-gie, sejalan dengan tidak sedikitnya entri dan catatan harian yang ditulisnya tentang seks, perkawinan, agama, keluarga, cinta, dan dunia petualangan, maka cinta dan petualangan menjadi fokus dari semuanya. Sebagai sosok pribadi yang tegar, keras, kokoh, dan pantang menyerah seperti ditunjukkan dalam petualangannya di gunung-gunung, Soe Hok-gie ternyata adalah pribadi yang lembut dan emosional ketika berbicara tentang cinta. Kasih yang tak sampai kepada gadis pujaannya gara-gara perbedaan agama dan etnis menyebabkannya begitu sedih dan putus asa (hlm 334-336).
Maxwell tampaknya sengaja menyinggung masalah cinta ini guna memperlihatkan sosok Soe Hok-gie yang begitu manusiawi, jujur, dan sederhana saat berbicara tentang cinta sama seperti ketika ia juga menulis dan berbicara secara jujur, lugas dan apa adanya tentang ketidaksenangannya terhadap kekejaman, kekejian, kelicikan, dan ketidakadilan yang menimpa bangsa Indonesia waktu itu.
***
KIRANYA buku biografi ini layak untuk dijadikan bacaan. Tidak hanya bagi mahasiswa yang menjadi salah satu dari the effective opposition guna menjalankan dinamika sosial politik suatu bangsa, melainkan juga bagi para pemerhati sejarah Indonesia. Mengapa? Tidak lain adalah karena minimnya anak zaman seperti Soe Hok-gie yang dimiliki Indonesia.
Secara etnis ia bukan pribumi; tetapi secara jiwa, raga, dan nurani, Soe Hok-gie barangkali lebih meng-Indonesia daripada orang Indonesia sendiri (baca: pribumi). Kejujuran, tulisan-tulisan, dan kedukaannya, bahkan kematiannya di Gunung Semeru (16 Desember 1969) akibat gas beracun, mungkin tidak berarti banyak bagi bangsa Indonesia yang harus terus maju menentang badai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar