Sosok Soe Hok Gie sendiri dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu Yi dalam bahasa Mandarin (dialek Pinyin). Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia. Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat-menyurat dengan kawan dekatnya.
Semakin besar, ia semakin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam. Di dalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan dalam Catatan seorang Demonstran, ia menulis: “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi mobil. Tulisnya lagi: “Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak.”
Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.”
Gie melewatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan ilmu sejarah. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru. Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade enam puluhan yang mengakibatkan kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang menurut Gie hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia .Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Gie resah. Dia mencatat: “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Maka lahirlah sang demonstran.
Mulai saat itulah hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dalam dunia pergerakan seperti rapat-rapat, demonstrasi, aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda, sampai dengan ancaman teror serta cacian dari penguasa karena aktivitas pergerakannya menjadi suatu hal yang lumrah bagi Gie, “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas,” begitu tulisnya. Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie kemudian menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia termasuk di barisan paling depan.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Seperti yang telah diceritakan diatas, Gie adalah juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-militer pada tahun 1966. Gie sendiri dalam buku Catatan Seorang Demonstran, menulis soal aktivitas gerakannya tersebut: “Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup.” Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran. Tertulis di akhir kalimatnya, Jakarta, 25 Januari 1966.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442 m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya: “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969
Dalam tulisannya, aktivis gerakan mahasiswa 1966 ini menyoroti kinerja kabinet di bawah Presiden Soeharto. Gie melihat adanya kesenjangan antara persepsi masyarakat luas dengan kinerja pemerintahan Soeharto saat itu.
Menlu Adam Malik yang bolak-balik ke luar negeri dipersepsikan masyarakat sebagai usaha untuk mendapat utang-utang baru dari negara donor. “Nama Adam Malik dapat diganti dengan nama Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Presiden Soeharto dan seterusnya. Seolah-olah seluruh usaha diplomasi kita adalah diplomasi cari utang untuk kelangsungan hidup repulik kita yang sudah 24 tahun usianya,” tulis Gie.
Gie –saat itu– menganggap pemerintah Soeharto yang baru dibentuk merupakan antitesis dari pemerintah Soekarno yang korup dan tidak berpijak pada realitas. Pemerintah Soekarno dan pemerintah Soeharto memiliki cita-cita yang sama besarnya dalam menyejahterakan masyarakat. Namun caranya berbeda. Dan di sinilah subjektivitas Hok Gie muncul. “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya,” katanya menyinggung proyek Monumen Nasional yang dibangun di jaman Presiden Soekarno.
Adik Arief Budiman ini juga melihat mispersepsi masyarakat terhadap kinerja kabinet muncul karena tidak adanya partisipasi sosial dan mobilisasi sosial yang dilakukan pemerintah. “Usaha Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda pembayaran utang-utang adalah bagian permulaan daripada usaha besar. Tetapi apakah pemuda-pemuda lulusan SMP di Wonosobo menyadari soal ini?”
Pemerintah yang pragmatis dan kegagalan komunikasi yang dimengerti masyarakat umum pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja masyarakat. Masyarakat dijejali istilah rule of law, human rights, tertib hukum dari Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan bahkan Presiden Soeharto. Namun di lain pihak, setiap hari mereka mendengar oknum militer yang menampar rakyat, anak-anak penggede yang ngebut serta penyelundupan yang dilindungi.
Gie pernah berkata pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.
Gie menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia, antara lain, “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu Gie sering gelisah dan berkata, “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibunya dia cuma tersenyum dan berkata, “Ah, mama tidak mengerti”.
Kemudian, Gie juga pernah jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orang tuanya tidak setuju — mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada Arief, Gie berkata, “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si ***, saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”. Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada Arief. Arief menuturkan, “Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.”
Gie, berdasarkan kedudukannya dapat disetarakan dengan tentara yang kembali dari medan perang. Ia dipuji dan dielu-elukan rakyat, namun ketika sang tentara hendak mencari pasangan hidup, tentu orang tua sang wanita tak akan rela menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi sang tentara. Kenapa begitu? Biarpun yang ia lakukan itu benar dan berjasa besar, namun tindakannya terlaku berbahaya dan beresiko.
“…Kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian pemanasan (warming up) bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam. Kemudian pembantaian pun terjadi dimana-mana…” Tulis Gie dalam buku hariannya.
Gie adalah salah satu tokoh yang sangat menyoroti tragedi G30/S/PKI, tragedy yang sangat memilukan dalam sejarah kelam Bangsa Indonesia. Tapi tidak demikian halnya dengan pengungkapan reaksi balik yang tidak kalah biadabnya dari gerakan 30 September 1965 yang menimpa orang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Pembantaian, pemberangusan, penghilangan lawan politik yang sungguh biadab dan diluar batas nilai-nilai kemanusiaan.
Cerita pembantaian massa PKI Bali ditulis oleh Robert Cribb, Soe Hok Gie serta tambahan laporan dari Pusat Studi Pedesaan Universitas Gajah Mada yang dicatat dari pemberitaan harian Suara Indonesia yang terbit di Denpasar. Juga ada dokumen dari Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat tentang penumpasan G30S/PKI di Bali. Cribb dan Gie mengawali catatannya untuk menggambarakan bagaimana brutal dan sadisnya pembantaian PKI di Bali.
Komandan RPKAD, Sarwo Edhi, yang pasukannya tiba pada akhir Desember 1965, dilaporkan pernah berkata, “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh.”
Situasi di Bali dalam catatan Soe Hok Gie memang agak terlamabat menerima komando untuk melakukan pembantaian. Elite-elite politik di Bali lama mengamati pertarungan yang terjadi di Jakarta dan menunggu siapa yang keluar sebagai pemenang. Banyak para keluarga di Bali yang kehilangan anggota keluarganya dalam Tragedi 65 melakukan ritual ini untuk menutup rapat tragedi menyedihkan tersebut.
Ada sebuah catatan kecil dari pemikiran Soe Hok Gie tentang konsep kebudayaan yang ada di buku hariannya ketika ia sedang berdiskusi dengan Ong Hok Ham yang dicatatnya pada tanggal 31 Desember 1962. Di sana dia menulis, ”Lihat di Irian Barat, telanjang, bercawat, tidak ada kebudayaan.”
Nampaknya waktu itu Soe Hok Gie masih terpengaruh ide yang berpendapat bahwa hal-hal yang masih primitif itu adalah hal-hal yang belum mengenal atau tersentuh oleh kebudayaan. Konsep yang sudah ketinggalan jaman pada waktu itu sebenarnya. Semoga saja pendapatnya ini berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676 meter. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya: “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Dalam suasana yang seperti inilah Gie meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut. Gie tewas bersama rekannya, Idhan Lubis. Tanggal 16 Desember 1969, Soe Hok Gie yang berencana merayakan ulang tahunnya di puncak Mahameru menghembuskan nafasnya yang terakhir karena terjebak gas beracun.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar