Rabu, 18 Juni 2008

Orang Hilang Yang Takpernah Kembali dan Dia Pasti akan Kembali

Wiji Thukul - Aku Ingin Jadi Peluru

wiji-thukul-aku-ingin-jadi-peluru.jpgMedium: Buku - Kumpulan Puisi
Penulis: Wiji Tukhul
Judul: Aku Ingin Jadi Peluru
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: 2000
Tebal: 5 buku, 135 puisi

“Kalau hidupmu tidak mudah, keras, penuh tekanan, kejam dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi.”

“Kalau hidupmu terjepit, kau dikejar-kejar, kau bersembunyi, kau berganti kaos, celana, sandal bahkan nama, sampai-sampai kau nyaris alpa dirimu sendiri, maka menulislah puisi.”

“Puisi apa yang kau tulis?Apa pun itu, puisi akan melembutkan pikiranmu, setidaknya jemarimu sendiri.”

Di jaman seperti ini, masihkah relevan membaca Thukul? Tahun-tahun ini tentu sudah jauh berbeda dibanding era Wiji Thukul. Sudah tidak ada lagi sepatu lars menginjak di bawah meja. Orang boleh mencaci presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati juga para DPRnya sendiri tanpa perlu gentar. Orang punya puluhan partai politik untuk di pilih. Konon, kita tidak perlu lagi punya rasa takut pada negara. Ya, itu benar. Yang menjadi persoalan bukanlah apakah kita takut pada negara, melainkan jika negara takut pada warganya sendiri. Itulah yang jauh lebih mengerikan. Karenanya, meski era penghilangan orang macam Thukul sudah dianggap berlalu namun masih ada kematian-kematian yang tak perlu. Munir, misalnya. Ironisnya, Munis turut menulis essay tentang Wiji Thukul sebagai pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, berjudul Aku Ingin Jadi Peluru.

Masihkah relevan membaca Thukul? Soal relevansi, itu mudah dicari. Ada baiknya simak satu puisi Thukul ini:

Kucing, Ikan Asin Dan Aku

Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus

ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam

mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!

lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan

Puisi tentang sesuatu yang sederhana dengan bahasa sederhana.

Ya, hidup Thukul tampaknya begitu keras. Ini tampak dari puisi-puisi dalam buku ini. Buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh IndonesiaTera berusaha merangkum semua puisi Thukul. Buku ini memuat dua kumpulan puisi Thukul yang pernah terbit sebelumnya (oleh Taman Budaya Surakarta), yaitu Puisi Pelo dan Darman Dan Lain-lain, yang menjadi dua sub bab tersendiri. Selain itu, juga memuat puisi-puisi yang belum terkompilasi, dan dijadikan dua sub bab, Lingkungan Kita Si Mulut Besar dan Ketika Rakyat Pergi. Sub bab terakhir berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya adalah kumpulan puisi Thukul semasa pelarian (setelah 1 Agustus 1996). Dalam pelarian, Thukul menulis dengan nama samaran Budi Bang Branang. Salah satu puisi masa pelariannya adalah Kucing, Ikan Asin Dan Aku di atas.

Nyanyian Akar Rumput

jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang

kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!

Kalau banyak orang negara takut pada Thukul (dulu) itu bisa dimengerti. Membaca Thukul adalah membaca semangat perlawanan.

dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang!
(Bunga Dan Tembok)

mari tidur
persiapkan
perlawanan, esok pagi!
(Untuk D)

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
(Tentang Sebuah Gerakan)

aku menulis aku penulis terus menulis
sekalipun teror mengepung
(Puisi Di Kamar)

penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendidikku jadi patuh
(Puisi Menolak Patuh)

kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu: pembebasan!
(Tujuan Kita Satu Ibu)

Tapi Thukul bukanlah orang yang begitu keras penuh pemberontakan. Thukul tetaplah manusia yang mempunyai sisi lembut, terutama pada ibu. Thukul tidak sekedar menulis perlawanan, ia menulis banyak hal, terutama hal sehari-hari yang ia akrabi. Kalau toh Thukul menari-nari dalam dunia imajinasi, ia tetap kembali pada sehari-hari.

Sajak Ibu

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah sayur murah
jadi sedap


dengan kebajikan
ibu mengenalkanku kepada tuhan

Derita Sudah Naik Seleher

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak

darah sudah kauteteskan
dari bibirku
luka sudah kaubilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kaurampas
dari biji mataku

derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Membaca Wiji Thukul adalah membaca dunia Thukul dengan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti. Bahasanya cukup lugas, tidak berbunga-bunga, dan tidak memerlukan banyak tafsir. Itu karena Thukul ingin didengar. Thukul bukan menulis puisi untuk dikulum diam-diam. Puisinya untuk diucapkan bahkan diteriakkan. Ya, kata orang, puisi Thukul adalah puisi protes. Namun, mungkin lebih tepat dipandang sebagai sebuah puisi proses. Ya, menulis puisi bagi siapa pun adalah sebuah proses. Proses menafsirkan realita. Dan, bagi Thukul realita itu berupa kekerasan.

Kembali ke pertanyaan semula. Di jaman sekarang ini apa relevansinya membaca Thukul? Hm, tidakkah kita juga melihat realitas kekerasan itu sampai sekarang? Diperlukan Thukul untuk mengingatkannya pada kita semua.

Om Ale
03 Maret 2007

***

Tidak ada komentar: